Panas, Polusi, dan Ketimpangan: Potret Krisis Iklim Kota Indonesia

Metropolitan145 Views

Bogor, Indonesianews.co.id

Dalam beberapa tahun terakhir, kota-kota besar di Indonesia mengalami peningkatan suhu yang signifikan. Fenomena ini dikenal sebagai Urban Heat Island (UHI), yaitu kondisi ketika suhu di kawasan perkotaan lebih tinggi dibandingkan wilayah sekitarnya. Jalan beraspal, gedung beton, dan minimnya ruang terbuka hijau membuat panas tersimpan dan sulit keluar. Akibatnya, udara kota menjadi lebih panas, terutama pada siang dan malam hari.

Selain panas, polusi udara menjadi masalah serius yang memperburuk situasi. Asap kendaraan bermotor, emisi industri, dan aktivitas rumah tangga menghasilkan gas berbahaya seperti karbon monoksida (CO), nitrogen oksida (NOx), dan ozon (O₃). Polusi ini tidak hanya menurunkan kualitas udara, tetapi juga berinteraksi dengan suhu tinggi sehingga membuat udara semakin berat dan berbahaya bagi kesehatan. Para ahli menjelaskan bahwa panas ekstrem dapat mempercepat pembentukan ozon di permukaan bumi, sementara polusi memperkuat efek panas dengan memerangkap radiasi di atmosfer.

Kondisi ini paling jelas terlihat di kota-kota padat seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Di Jakarta, misalnya, penelitian menunjukkan bahwa suhu permukaan di kawasan padat seperti Tambora dan Tanah Abang bisa 2–4°C lebih tinggi dibandingkan Menteng atau Kebayoran Baru yang lebih banyak memiliki pepohonan. Di Bandung, selisih suhu antara daerah padat dan kawasan hijau bahkan mencapai 7–8°C. Data ini menunjukkan bahwa masyarakat yang tinggal di kawasan padat mengalami tekanan panas lebih besar dibandingkan mereka yang tinggal di lingkungan yang lebih hijau.

Warga berpenghasilan rendah adalah kelompok yang paling terdampak. Mereka umumnya tinggal di rumah-rumah sempit tanpa ventilasi yang memadai dan jauh dari pepohonan. Saat suhu naik, mereka tidak memiliki pendingin udara untuk mengurangi panas, sementara udara di sekitar tempat tinggal mereka sudah tercemar asap kendaraan dan debu. Kondisi ini membuat mereka lebih rentan terhadap penyakit pernapasan, dehidrasi, dan stres akibat suhu ekstrem.

Dalam lima tahun terakhir, situasi ini semakin memburuk. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat bahwa tahun 2024 menjadi salah satu tahun terpanas dalam satu dekade terakhir. Fenomena El Niño dan peningkatan pembangunan yang tidak memperhatikan keseimbangan lingkungan memperparah kondisi tersebut. Ruang terbuka hijau semakin berkurang, sementara jumlah kendaraan terus meningkat, sehingga volume polusi udara semakin tinggi.

Dampak dari panas dan polusi dapat dirasakan langsung oleh masyarakat. Biaya listrik meningkat karena penggunaan kipas angin dan pendingin udara, produktivitas kerja menurun karena suhu tinggi, dan angka gangguan kesehatan meningkat. Lansia dan anak-anak menjadi kelompok yang paling rentan. Selain itu, riset internasional memperkirakan kerugian ekonomi akibat kematian dan penyakit yang disebabkan oleh panas dan polusi mencapai ratusan euro per orang per tahun di wilayah perkotaan. Jika diterapkan pada konteks Indonesia, nilainya bisa mencapai triliunan rupiah.

Masalah utama dari situasi ini adalah arah pembangunan kota yang belum berpihak pada keseimbangan ekologi dan keadilan sosial. Pembangunan sering kali memprioritaskan pertumbuhan ekonomi dan infrastruktur fisik, tetapi mengabaikan dampak lingkungan dan kesehatan warga. Ruang hijau lebih banyak dibangun di kawasan elit, bukan di permukiman padat yang justru paling membutuhkan. Hal ini menimbulkan ketimpangan baru, di mana sebagian warga menikmati udara lebih bersih dan suhu lebih sejuk, sementara sebagian lainnya harus hidup dalam panas dan polusi.

Solusi terhadap masalah ini tidak cukup dengan menambah taman kota di pusat-pusat bisnis. Pemerintah perlu mengatur kembali tata ruang kota agar lebih seimbang antara pembangunan fisik dan ruang terbuka hijau. Program seperti taman atap, jalur hijau di pemukiman padat, serta peningkatan transportasi publik untuk menekan emisi harus dilakukan secara serius. Selain itu, pelibatan masyarakat dalam menjaga kebersihan udara dan pengelolaan lingkungan menjadi hal penting agar perubahan bisa dirasakan langsung.

Krisis panas dan polusi di kota adalah peringatan bagi kita semua bahwa pembangunan yang mengabaikan lingkungan pada akhirnya akan merugikan manusia. Kota yang baik bukan hanya yang maju secara ekonomi, tetapi juga yang aman dan sehat untuk dihuni. Keadilan lingkungan perlu menjadi dasar kebijakan kota, agar setiap warga, tanpa memandang status sosial, memiliki hak yang sama untuk menikmati udara bersih dan suhu yang layak bagi kehidupan.

Oleh Fithriya Yulisiasih Rohmawati

Mahasiswa Doktor Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, IPB University

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *